Sabtu, 23 April 2011

Anak SLB Ingin Mandiri

Photo murid-murid SLB
Delapan siswi kelas XI dan XII Sekolah Luar Biasa (SLB) Dharma Bhakti Dharma Pertiwi, Kemiling, Bandar Lampung, Sabtu (16/2/2011) pagi, sibuk berbincang dengan menggerakkan jari-jemari mereka di kelas membatik. Sekali-sekali mereka menunjuk-nunjuk ke arah kompor kecil, yang di atasnya terdapat wajan kecil tempat malam cair yang panas atau ke motif batik yang tengah mereka gambar. Lalu, mereka tertawa atau saling menepuk bahu.

Namun, obrolan mereka sama sekali tidak bisa dipahami. Dari gerakan tangan dan ekspresi mereka, satu hal yang bisa disimpulkan, anak-anak itu sedang membicarakan motif batik dan cairan malam panas yang digunakan untuk membatik pada pagi hari itu.

Hartatiningsih, guru pendamping membatik siswa-siswi yang memiliki keterbatasan, yakni ketidakmampuan mendengar dan berbicara, itu, berupaya membangkitkan semangat mereka. "Selain batik, sebetulnya kami juga mengajarkan jenis keterampilan lain, di antaranya memasak, menjahit, hingga membuat kerajinan tangan," ujar Tini, panggilan akrab Hartatiningsih.

Bagi siswa-siswi itu, membatik adalah hal baru. Sejak satu bulan lalu mereka mendapat pelatihan membatik. Pelatihan dilakukan melalui kerja sama dengan Lembaga Kursus dan Pelatihan Batik Tulis Siger dan produsen Batik Lampung Gabovira. Melalui lembaga kursus itu, mereka mendapat pelatihan mengenai sejarah batik tulis, pembuatan batik tulis, motif batik Lampung, dan cara membatik.

Siswa-siswa tersebut mendapatkan peralatan membatik, kain, serta malam atau lilin untuk membatik. Dengan alasan saat ini batik motif Lampung sudah sangat dikenal masyarakat Lampung, siswa-siswi diarahkan untuk mengembangkan batik motif kreasi baru. Namun, jika dicermati, mereka masih mencampurkan motif Jawa dan Lampung.

"Tidak apa-apa. Kreativitas mereka masih akan terus berkembang," ujar Abdul Halim, pembimbing membatik lainnya.



Dengan bantuan Tini sebagai penerjemah, Nanda Restina Hanum, siswi kelas XI SLB Dharma Bhakti Dharma Pertiwi, mengungkapkan sangat suka membatik. Kain batik pertama yang ia lihat adalah kain batik milik ibunya.

"Ada motif bunga dan tanaman yang menarik. Sekarang saya bisa menggambarnya," ujar Hanum.

Itu sebabnya, di lembaran kain yang sedang dibatik oleh Hanum terdapat gambar bunga, sulur-suluran, dan siger atau mahkota pengantin yang merupakan motif Lampung. Namun, secara pelan-pelan dan terus-menerus siswa-siswi itu dilatih untuk bisa mengembangkan motif-motif khas Lampung, seperti jung atau kapal, pucuk rebung, cengkeh, ataupun kopi.

Gatot Kartiko, pemilik Batik Lampung Gabovira, mengatakan, rintisan SLB tersebut sudah bagus. Siswa-siswi dengan keterbatasan dididik untuk bisa mandiri dengan pemberian keterampilan.

Kelebihan 
Dari pengamatannya dalam satu bulan ini, Gatot melihat anak-anak yang memiliki keterbatasan itu mampu menyelesaikan pekerjaan mereka dengan bagus. Keterbatasan justru merupakan kelebihan mereka.

"Mereka memiliki konsentrasi yang sangat bagus, tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar," ujar Gatot.

Menurut dia, saat orang normal membatik tulis, mereka akan mudah terganggu oleh suara-suara bising ataupun kegiatan di sekitar mereka. Hasilnya, kain yang seharusnya selesai dibatik dalam waktu satu minggu bisa mundur lebih lama. Sementara anak-anak dengan keterbatasan tersebut bisa tetap asyik bekerja tanpa terganggu oleh suara bising ataupun kegiatan-kegiatan di sekitar mereka.

Laila Al-Khusna, pemimpin Lembaga Belajar Batik Tulis Siger, mengatakan, anak-anak tersebut memiliki ketekunan dan ketelatenan yang tidak dimiliki orang normal. "Apabila terus dilatih dan diasah, mereka bisa menjadi pembatik yang bagus," kata Lala.

Dilihat dari sisi produksi batik motif Lampung yang saat ini tengah booming, mereka bisa mengisi kebutuhan tenaga kerja membatik yang saat ini masih sulit diperoleh di Lampung. Dari sisi anak-anak tersebut, membatik bisa mereka manfaatkan sebagai cara untuk mandiri.

Laila mencontohkan Hardianto, siswa kelas XII SLB Dharma Bhakti Dharma Pertiwi. Ia mampu menyelesaikan satu lembar batik tulis dalam waktu satu minggu. Selain itu juga beberapa kain batik yang sudah dihasilkan Hardianto indah dan bercerita.

Melalui pembicaraan dengan cara ditulis di atas kertas, Hardianto pun menyatakan sangat suka membatik. Namun, ia belum tahu apakah akan menjadikan batik sebagai pekerjaannya atau bekerja di bidang lain.

Berbeda dengan Hardianto, Desy Susanti, siswi lain, mengatakan ingin terus membatik. Ia ingin membuat kain-kain bermotif bagus dan bisa dikenakan dengan pantas.

Gatot mengatakan, dengan tingkat pemasaran batik motif Lampung yang terus berkembang, Gabovira bersedia menampung hasil karya siswa-siswa berketerbatasan tersebut.

"Apabila motifnya bagus dan hasil produksinya menarik, kami bersedia menampung dan memasarkannya," ujar Gatot.
Itu sebabnya, setiap kali siswa-siswi tersebut selesai membatik, mereka akan mengolah menjadi kain batik di lokasi produksi Gabovira atau Lembaga Belajar Batik Tulis Siger. Mereka akan mengetahui hasil karyanya, kemudian mendapat evaluasi atas hasil karya mereka.

Tini mengatakan, cara berlatih tersebut diharapkan bisa terus memotivasi anak-anak yang memiliki keterbatasan itu. Hal tersebut memotivasi bahwa mereka bisa sama seperti orang normal lainnya. Semoga. (Helena F Nababan)

Sumber: http://edukasi.kompas.com

0 komentar:

Posting Komentar